Pemaksaan
radiasi (radiative forcing) dari beberapa senyawa kimia yang
berkontribusi kepada peningkatan suhu rata-rata dunia menurut Laporan Penilaian Keenam IPCC
Suhu Bumi telah
berubah secara drastis dalam 4,5 miliar tahun, dimulai dari Zaman Es Huronian
yang menutupi sebagian besar planet dengan es selama hampir 300 juta tahun.
Pada Januari
2018, IPCC merilis laporan nyata tentang efek peningkatan suhu 1,5 derajat
celcius. Dampaknya meliputi kondisi cuaca yang lebih ekstrem, naiknya permukaan
laut, kerusakan ekosistem pesisir, hilangnya spesies dan tanaman vital, masalah
kesehatan, serta masalah ekonomi global.
Akibat
kenaikan suhu ini puncak Jayawijaya di Papua yang pada tahun
2020 memiliki ketebalan es 31,49 meter, pada 2025 mendatang diperkirakan es
tersebut akan hilang sepenuhnya.
Laporan
menyatakan emisi yang dihasilkan dari aktivitas umat manusia mendorong
rata-rata suhu global 1,1 derajat Celcius lebih tinggi dari rata-rata era
pra-industri.
Kenaikan suhu
1,1 derajat Celcius dinilai sudah cukup untuk menimbulkan bencana dari cuaca
ekstrem yang mematikan seperti gelombang panas hingga hujan lebat. Bahkan,
seseorang bisa meninggal saat berada di luar ruangan karena tidak tahan dengan
gelombang.
TREND KENAIKAN SUHU DI BEBERAPA PROVINSI INDONESIA Pada Periode 1950 hingga 2020 Nampak Pada Grafik-Grafik Gambar berikut
Trend Suhu Udara di BALI Naik ± 2 0C dalam Kurun waktu 70 Tahun terakhir (Periode tersebut)
Trend Suhu Udara di PAPUA Naik Hampir 3 0C dalam Kurun waktu 70 Tahun terakhir (Periode tersebut)
Trend Suhu Udara di SULAWESI SELATAN Naik ± 1,5 0C dalam Kurun waktu 70 Tahun terakhir (Periode tersebut)
Trend Suhu Udara di KALIMANTAN UTARA Naik ± 2 0C dalam Kurun waktu 70 Tahun terakhir (Periode tersebut)
Trend Suhu Udara di KALIMANTAN TIMUR Naik ± 1,8 0C dalam Kurun waktu 70 Tahun terakhir (Periode tersebut)
Trend Suhu Udara di KALIMANTAN TENGAH Naik ± 2,5 0C dalam Kurun waktu 70 Tahun terakhir (Periode tersebut)
Trend Suhu Udara di KALIMANTAN BARAT Naik ± 2,3 0C dalam Kurun waktu 70 Tahun terakhir (Periode tersebut)
Trend Suhu Udara di JAWA TIMUR Naik ± 2 0C dalam Kurun waktu 70 Tahun terakhir (Periode tersebut)
Trend Suhu Udara di JAWA TENGAH Naik ± 2,5 0C dalam Kurun waktu 70 Tahun terakhir (Periode tersebut)
Trend Suhu Udara di JAWA BARAT Naik ± 1,3 0C dalam Kurun waktu 70 Tahun terakhir (Periode tersebut)
Trend Suhu Udara di DKI JAKARTA Naik ± 0,8 0C dalam Kurun waktu 70 Tahun terakhir (Periode tersebut)
Trend Suhu Udara di MALUKU Naik ± 1,5 0C dalam Kurun waktu 70 Tahun terakhir (Periode tersebut)
Berdasarkan prediksi peluang terjadinya
peristiwa cuaca kering ekstrem di Indonesia pada 2020-2025, beberapa wilayah diperkirakan
akan mengalami cuaca ekstrem di atas normal. Pada 2020, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat total 4.650 kejadian bencana alam dan
99,2 persen merupakan bencana yang berasosiasi dengan faktor iklim dan cuaca.
Tren suhu
berikut diperoleh dengan menggunakan data observasi BMKG mulai dari tahun
1981-2018. Berdasarkan hasil pengolahan tren suhu di Indonesia secara umum suhu
di Indonesia baik suhu minimum, rata-rata, dan maksimum memiliki tren yang
bernilai positif dengan besaran yang bervariasi sekitar 0.03 °C setiap
tahunnya. Ini bisa diartikan bahwa suhu akan mengalami kenaikan 0.03 °C setiap
tahunnya sehingga dalam 30 tahun lokasi tersebut akan mengalami kenaikan
sebesar 0.9 °C.
Untuk keperluan
yang lebih lanjut dan lebih mendetail, dapat dilakukan dengan menghubungi Pusat
Informasi Perubahan Iklim BMKG.
Tren
Suhu Rata-rata
Peta tren suhu
rata-rata Indonesia
Tren Suhu Minimum
Peta tren suhu
minimum Indonesia
Tren Suhu Maksimum
Peta tren suhu
maksimum Indonesia
Sementara di Indonesia sendiri permodelan kenaikan suhu di tahun 2070 sampai 2100 mendatang akan mengalami peningkatan suhu rata-rata 20C.
Jika
kenaikan suhu dijaga tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius, dampak dari ancaman
iklim pada generasi mendatang dapat berkurang. Misalnya, kekeringan berkurang
sebesar 39 persen, 38 persen untuk banjir sungai, 28 persen untuk gagal panen,
dan sebesar 10 persen untuk kebakaran hutan.
Efek pemanasan global mengancam
kehidupan manusia dari sisi ketahanan pangan dan kelangkaan
air. Banjir, penyakit, konflik dan
kerugian ekonomi menaik. Penggurunan merebak,
dengan kebakaran liar dan gelombang panas menjadi
lebih kerap. Peningkatan suhu di Arktika berkontribusi kepada penyusutan
gletser dan juga pencairan tanah beku abadi. Degradasi
lingkungan, ekosistem dan hilangnya keanekaragaman
hayati berterusan dalam proses umpan balik dengan bahaya iklim.
Dalam Persetujuan Paris pada
tahun 2015, negara-negara di dunia telah berikrar untuk menahan laju pemanasan
global "cukup di bawah 2,0 °C". Akan tetapi, dengan janjian yang telah
disetujui, peningkatan suhu rata-rata global masih dijangka akan mencapai 2,7 °C sebelum abad ke-22. Untuk membatasi
peningkatan suhu kepada 1,5 °C, emisi gas rumah kaca akibat
aktivitas manusia harus dikurangkan setengahnya sebelum 2030 dan mencapai netralitas
karbon pada tahun 2050.
Pada 2018, PBB mengingatkan bahwa tanpa tindakan cepat,
suhu global akan naik di atas 3 derajat celcius pada akhir abad ini. Dengan
kenaikan suhu tersebut, semuanya akan menjadi lebih buruk.
Tanpa tindakan
segera, cepat, dan besar untuk mengurangi emisi, suhu global berisiko melampaui
ambang batas pemanasan 1,5 derajat Celcius dalam 20 tahun ke depan. Bahkan,
suhu global bisa naik hingga 2 derajat Celcius pada 2060 dan kemungkinan 2,7
derajat Celcius pada akhir 2100.
Jika dunia secara drastis mengurangi emisi dalam dekade
berikutnya, rata-rata suhu masih berpotensi naik 1,5 derajat Celcis pada 2040
dan kemungkinan 1,6 derajat Celcius pada 2060, sebelum stabil.
Dalam Cuitan Terbaru BMKG : JAKARTA (7 Juli 2022) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati menyebut laju peningkatan suhu permukaan di Indonesia sangat bervariasi.
Berdasarkan analisis hasil pengukuran suhu permukaan dari 92 Stasiun BMKG dalam 40 tahun terakhir, kenaikan suhu permukaan lebih nyata terjadi di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah.
Dimana, Pulau Sumatera bagian timur, Pulau Jawa bagian utara, Kalimantan dan Sulawesi bagian utara mengalami trend kenaikan > 0,3℃ per dekade.
Laju peningkatan suhu permukaan tertinggi tercatat terjadi di Stasiun Meteorologi Aji Pangeran Tumenggung Pranoto, Kota Samarinda (0,5℃ per dekade). Sementara itu wilayah Jakarta dan sekitarnya suhu udara permukaan meningkat dengan laju 0,40 – 0,47℃ per dekade.
Dwikorita mengatakan untuk wilayah Indonesia, tahun terpanas adalah tahun 2016 yaitu sebesar 0,8 °C dibandingkan periode normal 1981-2010, sementara tahun terpanas ke-2 dan ke-3 adalah tahun 2020 dan tahun 2019 dengan anomali sebesar 0,7 °C dan 0,6 °C.
Analisis BMKG tersebut, lanjut Dwikorita, senada dalam laporan Status Iklim 2021 (State of the Climate 2021) yang dirilis Badan Meteorologi Dunia (WMO) bulan Mei 2022 yang lalu. WMO menyatakan bahwa hingga akhir 2021, suhu udara permukaan global telah memanas sebesar 1,11 °C dari baseline suhu global periode pra-industri (1850-1900), dimana tahun 2021 adalah tahun terpanas ke-3 setelah tahun 2016 dan 2020. WMO, kata dia, juga menyebutkan dekade terakhir 2011-2020, adalah rekor dekade terpanas suhu di permukaan bumi. Lonjakan suhu pada tahun 2016 dipengaruhi oleh variabilitas iklim yaitu fenomena El Nino kuat, sementara itu terus meningkatnya suhu permukaan pada dekade-dekade terakhir yang berurutan merupakan perwujudan dari pemanasan global. Sementara itu, Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan, Ardhasena Sopaheluwakan menambahkan, pengkajian yang dilakukan oleh Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyebutkan bahwa bumi) dibuktikan pula pada kondisi iklim dua tahun tersebut, yang tetap menjadi tahun terpanas setelah tahun 2016. Ardhasena menyatakan bahwa keadaan perubahan suhu udara permukaan juga diikuti oleh perubahan suhu permukaan laut. Hasil analisis menunjukkan suhu permukaan laut di Indonesia juga terus meningkat, dengan laju yang lebih kuat setelah periode dekade 1960-an yaitu sebesar 0,2°C per dekade. Ardhasena juga menyebutkan bahwa hasil analisis suhu udara permukaan global menurut perhitungan Badan Administrasi Atmosfer dan Kelautan (NOAA) Amerika Serikat, pada bulan Mei 2022 menunjukkan rata-rata anomali sebesar +0,178°C lebih tinggi jika dibandingkan dengan standar normal klimatologi periode 1991-2020.
Pada bulan Juni 2022 wilayah dengan nilai anomali positif dimana rata-rata anomali suhu lebih tinggi daripada standar normal klimatologi meliputi bagian timur Amerika Utara, bagian barat Eropa, bagian tengah Rusia, bagian utara Australia, dan sebagian besar Kutub Selatan. Ardhasena mengatakan, melihat kecenderungan trend kenaikan suhu permukaan yang terus terjadi, maka WMO menyatakan terdapat peluang sebesar 20% kenaikan suhu udara permukaan global dalam kurun waktu 5 tahun mendatang akan melebihi nilai ambang batas komitmen Kesepakatan Paris sebesar 1,5 °C. Beliau juga menuturkan bahwa sangat urgent bagi negara-negara untuk meningkatkan aksi mitigasi gas rumah kaca untuk menekan laju kenaikan pemanasan global.
Lihat Juga Update Info di bawah
'>Bagikan Info Ini Pada Sahabat Anda !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar